Tuesday, January 30, 2018

The Meanings of Methodology

A REVIEW ARTICLE

By: Nadya Saraswati


Neumann, W. Lawrence, 2014. Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approach, Seventh Edition, Essex: Pearson, Pg. 92-123.


Hal yang pertama kali terlintas di kepala saya ketika membaca artikel The Meanings of Methodology oleh Neumann adalah, begitu kompleksnya ilmu sosial dibandingkan ilmu pengetahuan alam – atau ilmu-ilmu ‘pasti’. Sayapun berfikir bahwa hal yang membuat ilmu sosial rumit adalah karena dalam ilmu sosial kita dimenemui banyak sekali pedekatan, berbeda pendekatan maka akan berbeda pula pandangan, teori, dan metodologi yang digunakan. Dan tidak hanya itu, pendekatan yang umum digunakan pada suatu bangsa atau wilayah, tidak berarti umum digunakan di bangsa ataupun wilayah lainnya.  (Neumann, 2014:92)
Realitas pluralisme dalam disiplin ilmu-ilmu sosial menyediakan kita banyak pendekatan untuk kita aplikasikan dalam sebuah riset. Namun kita tidak harus berpatokan pada sebuah pendekatan saja – biasanya kita akan memiliki kecenderungan berpatokan pada salah satu pendekatan dibanding dengan pendekatan lainnya. – Namun kita juga dapat menggunakan lebih dari satu pendekatan dalam melakukan sebuah riset sehingga kita mendapatkan pengetahuan lebih banyak dari riset tersebut, karena setiap pendekatan yang kita gunakan biasanya memberi hasil yang berbeda disetiap pendekatan.
Namun perlu kita tekankan bahwa pendekatan yang kita gunakan dalam mempelajari sebuah fenomena sosial, akan menentukan bagaimana kita melakukan riset. Mungkin hal ini terlihat sangat rumit, namun seperti yang dikatan oleh Neumann (2014) ketika kita telah memahi logika serta asumsi dasar dari setiap pendekatan yang kita pelajari, maka akan lebih mudah bagi kita untuk memahami keberagaman prespektif dalam ilmu-ilmu sosial dan bagaimana mereka melihat fenomena sosial.
Dalam metodologi, kita mengenal fondasi filosofis, dari sinilah kita dapat mengetahui bagaimana peneliti melihat sebuah realitas sosial. Terdapat dua area dalam fondasi ini, yang pertama adalah Ontologi, bagaimana kita memahami sesuatu yang ada atau mengada atau bagaimana realitas itu ada. Dalam ontologi sendiri terdapat dua posisi, yaitu realis, dimana apa yang kita lihat, itulah yang kita dapatkan, dan normalis dimana keyakinan, pengalaman, budaya dan penilaian subjektifitas yang berpengaruh dalam cara kita memandang dunia, – saya memahami hal ini sebagai realitas yang dikonstruksikan.
 Yang kedua adalah Epistologi, yang menjelaskan dari mana kita tahu bahwa realitas sosial itu benar-benar ada. Bila kita mengaplikasikan posisi realis maka kita akan mengetahui sebuah relitas dengan cara mengukurnya, ukuran-ukuran tersebut akan menghasilkan bukti-bukti adanya sebuah realitas tersebut, sedangkan bila memakai posisi normalis, maka kita harus ‘melebur’ dengan objek penelitian tersebut untuk memperoleh sebuah realitas, karena terkadang secara empiris realitas tersebut tidak ada namun secara sosial ada, interpretasi dan pandangan subjektif sangat mempengaruhi pandangan kita mengenai realitas tersebut, maka observasi saja tidak dapat mengantarkan kita pada pengetahuan sebuah relitas (Neumann, 2014:95)
Menyinggung kembali masalah pendekatan, terdapat tiga pendekatan dalam ilmu sosial; Positivis, interpretive, dan Critical. Setiap pendekatan tersebut memiliki teori sosial dan teknik riset yang berbeda. (Neumann, 2014:96) Dalam riset sosial, peneliti biasanya menggunakan Positivis atau Interpretif. Positivis sendiri menjadi pendekatan yang paling luas dan paling tua, dalam bukunya, Neumann (2014:97) mendeskripsikan bahwa positivis merupakan sebuah metode yang terorganisir yang mengkombinasikan logika deduktif dengan observasi secara empiris perilaku individu dalam mencaritahu dan memastikan sebuah problematika dalam hukum sebab akibat yang dapat memprediksi pola umum dalam aktivitas manusia. Atau dapat dipaham bahwa bagi positivis antara teori dan observasi tidak dapat dipisahkan, teori yang sudah ada atau dugaan sementara (hipotesis) dalam penelitian akan dibuktikan dalam sebuah rangkaian kegiatan observasi, ini berarti realitas sudah ada dan tugas kita hanya mempelajari dan mencerna realitas itu dengan empiris. Maka dari itu, pendekatan ini bersifat kuantitatif dan sering menggunakan eksperimen, suvei, dan statistik dalam memverivikasi sebuah teori.
Yang kedua adalah Interpretif atau juga disebut sebagai German Idealism – karena pendekatan interpretif ini lahir dari pemikir-pemikir Jerman seperti Weber dan Dilthey. Dalam bahasa Jerman dikenal istilah Verstehen sebagai tujuan utama dari penelitian sosial menurut interpretatif, yaitu pemahaman yang mendalam dalam pencarian makna. (Neumann, 2014:103) Lain halnya dengan Positivis, Interpretif tidak percaya dengan ukuran (measure), karena bagi mereka sebuah realitas tidak ada yang universal, dunia ini hasil konstruksi sosial dan abstrak namun kita dapat mengetahui maknanya. Pendekatan ini diketahui juga dengan pendekatan kualitatif, karena kebanyakan pendekatan ini menggunakan teknik observasi partisipan dan penelitian lapangan, dengan teknik tersebut maka pada pendekatan Interpretatif  peneliti dituntut untuk secara langsung berinteraksi dengan objek penelitian, ikut merasakan menjadi bagian dari objek, mengamati percakapan non-verbal objek dan menganalisis transkip pembicaraan objek atau mempelajari hasil dari rekemanan video dengan begitu peneliti akan memahi detail setiap interaksi, dan sikap objek yang mereka teliti. Bagi Interpretif, subjektivitas dapat dijadikan ilmu pengetahuan bila kita mengetahui proses mereka (objek penelitian) berfikir. Seperti yang dikatakan oleh Neumann, (2014:103) ketika peneliti Positivis sibuk dengan mengolah data-data kuantitatif untuk memperoleh informasi, peneliti interpretif akan langsung terjun ke masyarakat/objek yang diteliti, hidup bersama mereka, sehingga mereka akan memperoleh makna dari kehidupan mereka sehari-hari. Ini berarti fokus dari pendekatan Interpretif adalah bagaimana detail dari objek yang diteliti tersebut berinteraksi, hidup berdampingan, dan mengembangkan dirinya untuk memperoleh makna dan values dari objek yang diteliti.
Lalu pendekatan yang ketiga adalah Critical Social Science (CSS) sering disebut materialisme dialektika, analisis kelas dan critical structuralism (Neumann, 2014:110). Pendekatan ini terkait dengan teori kritis dan mereka juga melihat konteks sejarah. Pendekatan ini mengkritisi pendekatan Positivis maupun Interpretif. Sama seperti apa yang Interpretif kritisi dari Positivis, Pendekatan ini berpendapat bahwa Positivis meremehkan makna dari sekelompok individu dan cara mereka berfikir atau apa yang mereka rasakan, serta  menolak konteks sosial dan menurutnya Positivis menjadi antihumanist. Namun, ia juga mengkritisi Interpretif karena menurut mereka, Interpretif malah membantu masyarakat untuk melihat ilusi yang tidak benar disekitar mereka (Neumann, 2014:110). Sehingga bagi pendekatan ini, sebenarnya apapun metodenya tidak masalah, namun apa yang bisa dilakukan untuk masyarakat, karena fokus utama pendekatan ini adalah membantu masyarakat untuk mengubah kondisi mereka dan membangun dunia yang lebih baik bagi masyarakat, atau bagaimana kita mengubah sebuah kondisi masyarakat dengan hasil riset kita, karena penelitian bukan hanya sekedar sebagai ilmu pengetahuan. Maka dari itu, pendekatan ini dikaitkan dengan teori-teori emansipasi gerakan sosial.
            Pada dasarnya terdapat dua pendekatan lagi yang dijelaskan oleh Neumann dalam bab ini, yaitu Feminis dan Postmodern (sering juga dikaitkan dengan pendekatan kritis) yang berkembang sejak tahun 1980-an (2014:118). Pada pendekatan Feminis, mereka menggunakan lebih dari satu teknik dalam meriset dan salah satu alasan mereka unutk melakukan riset adalah mendorong masyarakat agar peduli dengan nilai-nilai kesetaraan, karena mereka dengan keras mendukung posisi wanita di dunia ini. Feminis juga sering mengkritik pendekatan lain, karena baginya pendekatan lain dalam melakukan riset tidak memperhatikan nilai-nilai kesetaraan dan cenderung berfokus pada permasalahan pria, menjadikan pria sebagai inti dari sumber dibanding wanita, dan cenderung pula menjadikan peran gender tradisional sebagai sebuah asumsi. Maka bagi Feminis, koneksi antara objek penelitian dengan si peneliti adalah hal yang penting dalam melakukan riset (Neumann, 2014:118) Dan pada Postmodern sendiri, peneliti tidak melihat pemisahan antara kemanuasiaan dan ilmu  sosial. Seperti Teori Kritis, mereka juga mempunya tujuan untuk melakukan perubahan terhadap dunia sosial dengan mendekonstruksi-nya. Postmodern sendiri merupakan pendekatan yang merevisi modernisme – tidak menolaknya secara total. Mereka berpendapat bahwa kenaran dari sebuah penjelasan itu hanya ada bagi mereka yang mau menerimanya, maka tidak ada sesuatu ‘yang paling benar’ dibandingkan yang lainnya, mereka juga bependapat bahwa nilai-nilai yang dalam sebuah riset juga memiliki posisi yang sama. (Neumann, 2014:120)
Pada akhirnya, tidak ada sebuah pendekatan yang paling benar ataupun yang salah, sehingga dalam ilmu sosial solusi dengan banyaknya pendekatan ini adalah pluralism. Sebagai peneliti ilmu sosial, kita disugguhkan berbagai macam pendekatan, tergantung dari bagaimana cara kita melihat dunia dan fenomena sosial yang ada. Namun apapun pendekatan yang kita gunakan dalam meneliti, perlu kita pahami terlebih dahulu bagaimana cara kerja, asumsi dasar, dan logika pendekatan-pendekatan tersebut, karena setiap pendekatan memiliki metode yang berbeda. Namun bagi saya,  banyaknya pendekatan dalam disiplin ilmu sosial juga merupakan sebuah kelebihan, sehingga dalam melakukan risetpun kita dapat memakai lebih dari satu pendekatan yang berbeda dan pengetahuan yang kita peroleh juga semakin banyak. Dan sekarang yang menjadi tugas kita adalah memahami fondasi filosofis sebuah metodologi ilmu sosial, agar kita tidak sekedar melakukan riset tanpa mengetahui maksud atau tujuan riset tersebut dan yang lebih penting, agar kita tidak cacat secara metodologis dalam melakukan sebuah riset sosial.


Monday, January 9, 2017

DIPLOMASI PERTAHANAN ASEAN

A Review Article by Nadya Saraswati

           
Capie, David, Brendan Taylor, 2010. The Sharing-La Dialogue and the Institutionalization of Defence Diplomacy in Asia. The Pacific Review, Vol. 23, Pp. 359-76

Pertama-tama penulis ingin menegaskan bahwa ada beberapa hal yang harus kita garis bawahi dalam artikel ini. Pertama adalah bagaimana Sharing-La Dialogue (SLD) ini dapat menyita perhatian beberapa Negara dibandingkan dengan forum-forum dialog lainnya, baik itu forum dialog dibidang kemanan maupun bidang lainnya (seperti ASEAN Regional Forum). Yang kedua adalah bagaimana kemunculan SLD memperlihatkan perubahan sikap dalam forum dialog pertahanan dan keamanan multilateral di kawasan Asia. Pada dasarnya kerjasama pertahanan di ASEAN sendiri dilakukan secara bilateral karena pada tingkat multilateral dianggap penuh dengan kecurigaan antar anggotanya. Saat ini disamping adanya SLD, menteri keamanan Negara-Negara anggota ASEAN mulai berusaha untuk bertemu secara multilateral dan agenda ini dilakukan secara kontinuitas.
Yang ketiga adalah, SLD sendiri merepresentasikan berbagai jenis pengelompokan internasional. Bila di ASEAN diorganisir oleh Negara, SLD dijalankan oleh badan privat seperti International Institute of strategic Studies (IISS) yang mendukung SLD secara finansial. – Capie dan Taylor (2010:361) mengatakan bahwa kesuksesan SLD memunculkan pertanyaan bagi ASEAN  dan cirikhas  budaya diplomati yang memfasilitasi kerjasamanya – jika dibandingkan dengan peran ‘ASEAN way’ dan norma-norma yang telah dimiliki oleh Negara-Negara anggotanya, IISS ini hanya memiliki basis institusi London yang kehadirannya sangat kecil di Asia. Lalu bagaimana pihak luar seperti itu dapat mengelola sebuah pertemuan regional mengenai keamanan yang paling sukses di Asia? dan dimana dikutip oleh Capie dan Taylor (2010:369) dari seorang tokoh senior hubungan internasional Asia Tenggara yang mengatakan bahwa 75% ‘pihak luar’ membicarakan mengenai keamanan ‘kita’. Hal tersebut adalah salah satu pertanyaan yang diajukan oleh Capie dan Taylor dalam artikelnya.
Dalam fokusnya ke Asia Tenggara, atau dalam hal ini organisasi regional ASEAN, Capie dan Taylor (2010:369-71) juga mempertanyakan bagaimana kesuksesaan SLD juga berdampak pada ‘ASEAN Way’? Selain itu, terdapat beberapa masalah lain dalam SLD, dimana Capie dan Taylor berargumentasi bahwa nampaknya ‘pihak luar’ ini (IISS) nampak seperti tersebut mengacak-acak kawasan ini seperti dengan cara tidak mempedulikan dan menolak nilai-nilai yang susah dimiliki ASEAN dalam menjalan bisnis darinya. Yang kedua adalah, tidak seperti pertemuan pemerintah secara regional lainnya yang menekankan persamaan dari partisipasi – dalam hal ini Capie dan Taylor mencontohkan bagaimana ASEAN ditaruh pada posisi yang penting – SLD sendiri secara eksplisit sangat hirarkis dimana persamaan derajat atau status Negara-Negara anggota tidak pedulikan oleh forum dialog ini. Terlepas dari mengapa SLD lebih sukses dibandingkan dengan forum dialog lainnya, terutama ARF.
Perlu diketahui bahwa SLD memberikan para senior dan pejabat anggota kesempatan untuk bertemu dan bertukar pandangan dalam sebuah formal agreements dan juga secara informal mereka dapat bertukar gagasan dan informasi, sedangkan dalam aransemen kemananan seperti ARF (termasuk pertemuan pejabat pertahanan) sendiri nampak seperti ada gap dalam kalender diplomatiknya dimana dalam pertemuan tersebut hanya didominasi oleh pejabat-pejabat kementeri luar negeri saja. Capie (2010) sendiri mengatakan bahwa SLD yang memiliki markas ‘think tank’ diluar kawasan tersebut lebih terlihat sebagai pemberi bantuan daripada dipandang sebagai ‘penghalangan’, walaupun peran aktor internal sangat penting juga, Capie dan Taylor (2010:371) juga mengutip hasil wawancara staff IISS bahwa pada dasarnya memang benar IISS memiliki ketertarikan dengan kawasan ini, namun bukan berarti IISS memiliki kepentingan. Maka dari itu, Capie dan Taylor mengatakan bahwa, inilah alasan bagaimana SLD terus berkembang menjadi kuat, sedangkan dialog keamanan kawasan lainnya dari pemerintah Negara-Negara di kawasan ini lebih terlihat kaku, sehingga  sampai saat ini sulit mendapatkan daya tarik.

Dari sini maka dapat kita simpulkan bahwa pada dasarnya SLD juga memiliki tantangan yang dihadapi dari forum-forum diaolog kawasan seperti ASEAN Defence Minister Meeting (ADMM) dan ARF Security Policy Conference (SPC) disamping belum ada satupun dari forum dialog tersebut yang mengungguli SLD namun dapat kita lihat bahwa adanya inisiatif-inisiatif dari pemerintah kawasan ini menunjukan bahwa Negara-Negara Asia Tenggara secara tidak langsung setuju perlunya pertemuan-pertemuan antar pejabat pertahanan dalam tingkat multilateral dan tidak lagi bersifat bilateral saja. Ini menunjukan adanya pergeseran diplomasi pertahanan yang dilakukan oleh Negara-Negara ASEAN.